Perizinan Sawit di Sumatera Utara Bermasalah


Kajian Walhi Sumut: Perizinan Sawit di Sumatera Utara Harus Dibenahi


Medan,( KBNLIPANRI ONLINE )
Kajian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Utara menunjukkan, tata kelola perizinan perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara belum terkoneksi dengan baik. Ini terlihat dari proses pengeluaran izin, produksi, hingga implementasi lapangan.

Khairul Bukhari, Kepala Departemen Advokasi dan Kampanye Walhi Sumatera Utara mengatakan, pada 2015, Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara, hanya menyampaikan penilaian 47 izin usaha perkebunan ke Kementerian Pertanian. Padahal, berdasarkan kajian Walhi Sumut, data yang sebenarnya menunjukkan ada 253 izin usaha perkebunan (IUP) pabrik kelapa sawit (PKS) di provinsi ini.

“Ketidaktepatan data antara Dinas Perkebunan Sumatera Utara dengan Dinas Perkebunan di kabupaten dan kota, disebabkan banyak perkebunan yang tidak menyampaikan penilaian usaha perkebunan (PUP). Ini tentu saja menunjukkan kondisi yang tidak baik,” ujarnya.

Khairul mengatakan, berkurangnya luasan kawasan hutan juga terjadi. Pada 2005–2014, berdasarkan SK Menhut No. 44/Menhut-II/2005, luas hutan di Sumut sekitar 3.742.120 hektar. Namun, pada SK No. 579/Menhut-II/2014, yang mencabut SK sebelumnya tentang Kawasan Hutan Provinsi Sumut, disebutkan luasnya hanya 3.055.795 hektar yang artinya ada 686,325 hektar hutan berkurang.

Bila dilihat lagi dari 2014 hingga 2016, berdasarkan SK Menteri LHK No.1076/MenLHK-PKT/PLA/2/3/2017 tentang Peta Perkembangan Pengukuhan Kawasan Hutan Sumatera Utara, diketahui kawasan hutan yang ada hanya 3.010.160,89 hektar. “Terjadi pengurangan seluas 45,635 hektar yang salah satu faktornya adalah alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit secara ilegal,” terangnya di Medan, Selasa (20/11/2018).

Ribuan hektar kawasan hutan Register 18 Simalungun telah beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit, dalam waktu 15 tahun terakhir. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia
Salah satu contoh, terjadi di Desa Lingga Muda, Kecamatan Lau Baleng, Kabupaten Karo. Walhi yang mendampingi masyarakat, menemukan fakta telah terjadi perambahan kawasan hutan di wilayah ini seluas 50 hektar. Kawasan hutan lindung yang beralih fungsi menjadi perkebunan sawit telah dirambah empat terakhir. “Pelaporan hukum telah dilakukan dan kami berharap ada perhatian serius pemerintah.”

Menurut Khairul, Inpres Moratorium Nomor 8 Tahun 2018 bisa menjadi langkah awal pemerintah di provinsi, kabupaten/kota Sumatera Utara untuk menata atau membenahi izin-izin perkebunan kelapa sawit. Inpres ini berisi tiga poin besar yaitu penangguhan, evaluasi, dan peningkatan produktivitas perkebunan sawit milik masyarakat.

“Pemerintah provinsi hingga Kabupaten dan kota harus menata dan meninjau kembali perizinan yang sudah di terbitkan. Apabila ada yang melanggar, langkah hukum harus dijalankan,” jelasnya.

Tahun 1945-1970, lahan seluas 3.000 hektar di Padang Halaban, Labura, Sumut, merupakan penghasil pangan, kini menjadi kebun sawit. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

Gunawan, Kepala Seksi Pemasaran Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara mengatakan Sumatera Utara merupakan penghasil minyak sawit yang diekspor ke luar negeri. Di sejumlah kabupaten, usaha ini diandalkan sebagai pendapatan asli daerah seperti di Simalungun, Labuhan Batu, Mandailing Natal, dan Langkat

Ada tiga izin usaha perkebunan yang diterbitkan, perkebunan terintegrasi yaitu ada kebun dan pabrik, perkebunan budidaya, dan perkebunan pengolahan. “Semua bersinggungan dengan kehutanan, karena untuk menerbitkan suatu izin harus banyak rekopmendasi yang dipenuhi,” jelasnya Jum’at (23/11/2018).

Menurut Gunawan, Dinas Perkebunan tidak memiliki kewenangan lagi dalam pemberian izin, sudah diserahkan sepenuhnya ke Dinas Penanaman Modal Sumatera Utara. Dinas Perkebunan sebatas memberi rekomendasi.

“Mengenai izin lintas kabupaten, pengurusannya di provinsi. Jika usahanya di kabupaten, cukup di kabupaten tempat usaha dijalankan, dan selama ini izin dikeluarkan di kabupaten saja. Terkait penyelamatan sumber daya alam, sejak 2015 kami sudah dipantau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sehingga tidak sembarang memberikan rekomendasi,” terangnya.

Terkait usaha perkebunan sawit, di Sumatera Utara ada 300 usaha dengan luas mencapai 1,4 juta hektar. Rinciannya, 40 persen perkebunan rakyat dan 60 persen dimiliki nasional, asing, dan PTPN.

“Perkebunan yang masuk hutan ini yang menjadi masalah. Sebab, ketika SK 44 turun, perusahaan sudah mendapatkan hak guna usaha (HGU) yang arealnya di luar kawasan. Ketika SK 579 hadir, ternyata ada yang masuk dalam kawasan hutan. Ini yang menjadi persoalan. Tetapi, jika dari awal memang dijalankan secara ilegal harus ditindak,” urainya. ( team )


Hutan Register 18 Simalungun

Dari Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, ribuan hektar kawasan hutan Register 18 beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit, dalam waktu 15 tahun. Anton Sipayung, Manager Program Wilayah Kelola Rakyat, Walhi Sumatera Utara menjelaskan, Register 18 merupakan kasus lama yang belum selesai hingga sekarang.

Menurut dia, ada perubahan luasan Register 18 berdasarkan SK 44 ke 579, dari 6 ribu hektar menjadi 5.382 hektar, yang kini sebagian besar dijadikan perkebunan sawit. Pengusaha yang menguasai lahan ini tidak tinggal di sekitar kawasan. Dulu, masyarakat mengelola tanpa merusak. Begitu perusahaan masuk, lahan kelola masyarakat diserobot, mereka dijadikan buruh. Walhi Sumatera Utara mengusulkan proses hukum ditegakkan.

“Hal paling utama adalah beri kepercayaan masyarakat untuk mengelola hutan berdasarkan konsep perhutanan sosial,” jelasnya.

Joner ED. Sipahutar, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah II Pematang Siantar, mengakui Register 18 dikuasai sejumlah perusahaan, dijadikan perkebunan sawit. Secara status, ini kawasan hutan, namun di lapangan berupa perkebunan dan permukiman. Berdasarkan SK 579, statusnya hutan produksi terbatas (HPT).

“Dilihat dari usia pohon antara 17 hingga 20 tahun menunjukkan lahan ini sudah dikuasai cukup lama. KPH masih baru, langkah yang kami lakukan adalah pendataan, setelah itu tindakan tegas,” jelasnya.

Joner melanjutkan, sesuai arahan KLHK, setelah kawasan diambil negara, akan dijadikan perhutanan sosial atau hutan kemitraan masyarakat.Wilayah KPH yang masuk kawasan Register 18 Simalungung adalah Pasar Maligas, Ujung Padang, dan Hutabayo Raja yang sudah didata tepatnya di Desa Marehat Mayang dan Desa Jawa Baru.

“Kami akan mendalami apakah ada pelangaran pidana atau tidak, tentunya berkoordinasi dengan Balai PamGakkum LHK Wilayah Sumatera,” tandasnya.

Halaman1

MA Putuskan Penunjukan Kawasan Hutan Sumut Langgar UU

JAKARTA,( KBNLIPANRI ONLINE )


Majelis hakim Mahkamah Agung memutuskan penunjukan kawasan hutan di Sumatera Utara seluas 3.742.120 hektar melanggar Undang-Undang Kehutanan. Gugatan soal SK Menteri Kehutanan Nomor 44/Menhut-II/2005 dilayangkan Mangindar Simbolon, Bupati Samosir; Torang Lumban Tobing, kala itu Bupati Tapanuli Utara—kini sudah habis masa jabatan– dan Sintong Maruap Tampubolon, ketua Forum Peduli Bona Pasogit.

Sintong Maruap Tampubolon, mengatakan, sudah menerima salinan putusan gugatan uji materi yang memenangkan mereka. Dari salinan putusan tertanggal 2 Mei 2014, majelis hakim agung dipimpin Paulus Effendi Lotulung, menyatakan, SK Menhut mengenai penunjukan kawasan hutan Sumut sekitar 3.742.120 hektar, bertentangan dengan UU dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Dalam amar putusan MA, menyebutkan, SK Menhut ini, dianggap melanggar UU 19 Tahun 2004 Jo. UU 41 1999 tentang Kehutanan. Ia juga melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004, tentang Perencanaan Kehutanan.

SK Mehut juga melanggar UU 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang. Juga UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, dan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Majelis hakim memerintahkan Menhut mencabut SK itu. “Menhut diminta membuat surat keputusan baru, yang memperhatikan RTRW kabupaten/kota, sebagai akibat pemekaran beberapa Kabupaten di Sumut.”

Mangindar Simbolon mengatakan, salah satu alasan mereka menggugat SK Menhut karena aturan itu dianggap tidak memperhatikan RTRW kabupaten/kota di Sumut, khusus daerah-daerah pemekaran.

Dalam SK Menhut itu, ada poin peraturan daerah tentang RTRW, tercantum peraturan daerah Sumut Nomor 7 Tahun 2003 mengenai RTRW Sumut 2003–2018.

“Namun pemekaran kabupaten baru belum termasuk. Perda Sumut dibuat 28 Agustus 2003,” ucap Simbolon.

Desa Sira Pispis, daerah pemekaran di Kabupaten Samosir yang terimbas  SK 44 Menhut. Foto: Ayat S Karokaro
Desa Sira Pispis, daerah pemekaran di Kabupaten Samosir yang terimbas SK 44 Menhut. Foto: Ayat S Karokaro
Dia mencontohkan, kekeliruan SK Menhut itu, antara lain soal pemekaran dan pembuatan RTRW kabupaten baru. Ada beberapa kabupaten baru, seperti Humbang Hasundutan (Humbahas). Dalam SK Menhut butir yang menyebutkan soal RTRW, dianggap suatu hal mustahil. Sebab, Humbahas dimekarkan dari Kabupaten Tapanuli Utara (Taput) pada 27 Juli 2003. Belum lagi Kabupaten Samosir, dimekarkan pada 18 Desember 2003.

“Ada banyak daerah baru lain, yakni Kabupaten Nias Selatan dan Pakpak Barat. Atas dasar itulah kami gugat SK Menhut ini.”

Putusan MA Dimanfaatkan Mafia Hutan?

Pasca putusan MA ini diduga dimanfaatkan para mafia hutan. Denganmenggunakan warga desa, para penjahat-penjahat kehutanan memberikan uang untuk membuka lahan bahkan di kawasan hutan lindung.Ini terkuak ketika terjadi kebakaran hutan di pegunungan, Kecamatan Baktiraja, Humbahas, awal Juni 2014.

Sejumlah saksi mata kepada Mongabay menyebutkan, kebakaran hutan terjadi karena banyak warga membuka hutan lindung. Mereka bukan penggarap lahan, tetapi warga yang diberi upah oleh tiga oknum pengusaha kehutanan. Mereka membuka lahan untuk sawit dan ekaliptus.

“Ketika kami melarang mereka, ada mandor datang dan mengatakan jika MA sudah memenangkan gugatan. Itukan salah arti. Mereka memanfaatkan putusan itu merusak hutan. Hutan lindung loh. Itu hutan negara. Ini harus disikapi serius. Banyak bandit perusak hutan mengincar hutan,” kata Dame Purba, Aliansi Pemuda Adat Humbahas.

Dia menyebutkan, kebakaran hutan bermula dari jembatan Simangira, Pegunungan Aek Sipangolu dan Binanga Rihit yang berbatasan dengan Kecamatan Muara, Tapanuli Utara.

Houtman Sinaga, mantan Camat Baktiraja, Humbahas, membenarkan kebakaran itu.


Penyelesaian RTRW Sumut Terkendala Status Kawasan Hutan, Mengapa?

JAKARTA,( KBNLIPANRI ONLINE )


Menteri Kehutanan menerbitkan surat keputusan penunjukan kawasan hutan Sumatera Utara pada 2005 seluas 3,7 juta hektar lebih. Namun, SK ini digugat dan putusan Mahkamah Agung menyatakan penunjukan kawasan hutan di Sumut melanggar UU. Kondisi ini, berdampak pada penyelesaian rancangan peraturan daerah (Ranperda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2014-2034 di daerah ini.

Nurdin Lubis, sekretaris daerah Sumut, Rabu malam (13/8/14) mengatakan, ranperda RTRW belum bisa selesai, karena terhambat penunjukan kawasan hutan.

Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang evaluasi ranperda RTRW Sumut telah terbit. Evaluasi itu mengamanatkan rencana pola ruang pada raperda mempedomani SK Menteri Kehutanan tentang penunjukan kawasan hutan Sumut. Namun, pasca putusan MA yang menyatakan SK Menhut itu melanggar UU otomatis penyusunan RTRW terganjal.

Dalam amar putusan MA, SK Menhut tidak sah dan tidak berlaku untuk umum. MA memerintahkan Menhut, mencabut keputusan itu dan menerbitkan keputusan baru. “Finalisasi RTRW menunggu keputusan baru.”

Menurut dia, agar penyusunan RTRW cepat selesai, pihaknya sudah dua kali menyurati Menhut, pada Januari 2014, dan Agustus 2014.

“Jika tidak segera keluar surat keputuan baru, program kita khusus itu akan terganggu. Dampaknya akan terjadi konflik dan tumpang tindih kawasan hutan mana yang bisa dipakai dan tidak. Ini berbahaya jika dibiarkan, jadi kami pro aktif mempertanyakan ke Kemenhut. ”

Forum Masyarakat Adat Batak Padang Lawas (FMABPL)dan Ikatan Pemuda Menolak Eksploitasi Hutan Lindung Wilayah Barat Sumut (IPMEHLBS) berbagi pandangan.


Desa Sira Pispis, daerah pemekaran di Kabupaten Samosir yang terimbas SK 44 Menhut. Foto: Ayat S Karokaro
Edward Jore Napitupulu, FMABPL, kepada Mongabay mengatakan, ulah Kemenhut yang sembarangan membuat aturan penunjukan kawasan hutan Sumut, menjadi gambaran nyata kecerobohan dan rendahnya analisis maupun perhitungan soal itu.

Keadaan ini, memperlihatkan Kemenhut tidak menurunkan tim ke lapangan sebelum membuat aturan. Akhirnya, berdampak pada proses aturan daerah.

“Ini kecerobohan sangat fatal. Ada banyak pertimbangan seharusnya sebelum membuat keputusan,” katanya di Medan, Kamis (14/8/14)

Sedang Erlangga Hutabarat, dari IPMEHLBS, mengatakan, SK Menhut ini sarat kepentingan bagi para bandit kehutanan hingga sengaja digolkan menjadi aturan. “Itu sangat berguna bagi mereka untuk bisa masuk dan menguasi hutan dan lahan di Sumut.”

Berdasarkan catatan mereka, ada beberapa daerah masuk kawasan hutan, kini dikuasi pemodal yang berlindung di balik HPH maupun HTI.

Daerah yang masih berkonflik antara pemodal dengan masyarakat adat itu, seperti di Desa Pandumaan-Sipituhuta, Kabupaten Humbang Hasundutan. Ada 12 masyarakat adat sampai kini berstatus tersangka.

Di Mandailing Natal, hutan Rantopuron, Desa Hutabargot, mengalami hal sama, Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) ini rusak dan hancur. “Setidaknya 1.300 hektar hutan lindung hancur di Sumut.” ( team )

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Presiden Jokowi Berharap Pendamping Desa Sumut Bangun SDM Desa

JEJAK KERAJAAN KUTAI

Wali Kota Hadiri Pembukaan Festival Peringatan 60 Tahun Hubungan Diplomatik Indonesia-Jepang