Perjalanan Keturunan Sisingamangaraja I ( Swarna Bumi )
Ketika Raja Mulawarman Memeluk Hindu, Sejarah Besar Pun
Tertuliskan
Kalimantan,( kbn lipanri )
LANGIT malam yang muram pelan-pelan tersenyum. Sinar
matahari dari sebelah timur mulai menyapu gelap dan membersihkan kabut di
sekitar istana Raja Mulawarman. Pagi itu, 1.500 tahun lampau, Mulawarman sang
raja Kutai Martapura menuju sebuah lapangan. Iring-iringan kereta bangsawan
menyertainya.
Tanah lapang yang dituju Mulawarman diperkirakan berdiri tak
jauh dari istana kayu kediaman sang raja. Nama tempat itu waprakeswara,
kira-kira selebar lapangan sepak bola. Lapangan yang disucikan dalam agama
Hindu ini diduga kuat berdiri di kawasan Benua Lawas, Bukit Brubus --kini
wilayah Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kajian Arkeologi
Sejarah Kerajaan Martapura, 2008, hlm 103).
Mulawarman tiba tepat pukul enam pagi. Waktu upacara ini
sesuai dengan penelitian Alain Danielou, sejarawan sekaligus penulis Prancis
yang mendalami Sansekerta, dalam bukunya berjudul The Classic Work on Hindu
Polytheism from the Princeton Bollingen (1964). Pagi yang bersejarah itulah,
Mulawarman bersiap mengikuti sebuah upacara keagamaan. Dalam ajaran Weda kuno,
aliran Hindu yang dianut sekitar abad kelima, upacara yang diikuti Mulawarman
adalah vratyastoma, sebuah kenduri besar yang penuh persembahan. Pelbagai
persembahan diberikan sebagaimana tertulis dalam prasasti yupa. Mulai emas,
bungai malai --seperti teratai, tanah, air suci atau air susu, biji wijen, hingga
lembu.
Persembahan dalam kenduri ini diberikan kepada dewa sebagai
penyucian diri sehingga segala kesalahan dan dosa terhapuskan. Di tanah
Hindustan, upacara ini bertujuan memupus hukuman kepada seseorang yang
membuatnya dikeluarkan dari kasta. Namun, dalam konteks kerajaan Kutai, para
ahli menduga tujuan vratyastoma sedikit berbeda. Sebagai daerah yang baru
menerima pengaruh Hindu, upacara tadi ditujukan sebagai penanda seseorang
memeluk Hindu sekaligus masuk kasta (hlm 112).
Upacara yang harus diikuti Mulawarman sebagai penanda ia
memeluk Hindu dapat dimaklumi. Dalam ajaran agama ini, seseorang tidak bisa
langsung memeluk Hindu jika orangtuanya tidak beragama Hindu. Di Kerajaan Kutai
Martapura, raja pertama adalah Kudungga. Dari namanya, para ahli memperkirakan
bahwa ia sama sekali tidak memeluk Hindu. Barulah putranya --atau kemungkinan
menantunya-- yang bernama Aswawarman yang menjadi seorang Hindu. Namun, ketika
Aswawarman mengikuti upacara vratyastoma, putranya yang bernama Mulawarman
diduga telah lahir. Mulawarman pun tidak bisa disebut beragama Hindu karena
saat ia lahir, ayahnya belum beragama Hindu. Itu sebabnya, dia harus mengikuti
ritual yang sama.
Upacara vratyastoma biasanya memiliki siklus 24 tahun
sekali. Jika upacara yang diikuti Aswawarman dipimpin brahmana dari permukiman
Tamil di India Selatan, tidak dengan Mulawarman. Pendeta yang memimpin ritual
yang diikuti Mulawarman sudah berbeda. Ada brahmana dari selatan India, ada
pula dari bangsa Indonesia (Prasasti Koleksi Museum Nasional, 1984, hlm 35).
Mengikuti ritual Hindu pada masa kini, lokasi upacara
Mulawarman dibagi dalam tiga bagian berupa lingkaran. Di bagian terdalam,
lingkaran yang paling kecil, adalah tempat berbagai persembahan. Seluruh
sedekah itu dikumpulkan di dekat sebuah tiang batu. Tiap-tiap persembahan,
mengutip hasil simposium yang dicatat Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah
Kukar, memiliki makna masing-masing. Yang paling besar adalah 20 ribu ekor
sapi. Persembahan ini merupakan lambang pengabul keinginan dan simbol bumi.
Sementara minyak kental yang menyerupai gunung menyimbolkan dewata berada di
tempat tinggi. Api dari obor adalah simbol kedewataan. Sementara kumpulan bunga
malai mengisyaratkan persemayaman dewa.
Mengenai jumlah 20 ribu ekor sapi, para ahli memiliki
pendapat yang berbeda-beda. Bisa jadi, angka itu benar adanya meskipun sangat
sulit mengumpulkan ternak sebanyak itu di Muara Kaman. Sapi-sapi itu
kemungkinan besar didatangkan dari luar pulau. Pendapat lain menyatakan sapi
itu memang banyak. Namun, jumlahnya tidak sampai 20 ribu. Angka itu ditulis
sebagai simbol dari jumlah doa yang diucapkan para brahmana belaka.
Upacara yang diikuti Mulawarman berlangsung sehari penuh.
Petang tiba, ritual pun berakhir. Mulawarman telah sah memeluk agama Hindu kuno
sekaligus masuk kasta ksatria. Meskipun upacara telah kelar, tugas para
brahmana belum selesai. Mereka mengukir rangkaian upacara beserta
persembahannya di atas batu jenis andesit. Permukaan batuan ini harus dipapas
agar membentuk bidang yang rata. Sebagian besar batu dengan tinggi 1 meter
lebih ini memiliki lima sisi. Para brahmana kemudian mengukir huruf-huruf
Pallawa yang pada abad kelima dipakai di India Selatan.
Aksara di atas prasasti itu merangkaikan kata-kata dalam
bahasa Sansekerta. Menilik tulisan para brahmana, prasasti didirikan dengan
tujuan mencatat perbuatan baik Raja Mulawarman. Hal itu agar seluruh perbuatan
Mulawarman dapat dikenang hingga lintas generasi. Bagi Mulawarman, tulisan di
atas batu-batu itu menunjukkan bahwa dirinya adalah raja yang besar, dermawan,
dan saleh. Sementara bagi para brahmana, prasasti ini adalah ucapan terima
kasih mereka karena telah menerima anugerah dari kebaikan budi sang raja
(Kajian Arkeologi Sejarah Kerajaan Martapura, 2008, hlm 116).( limber sinaga )
Komentar
Posting Komentar