KONTRAVERSI SEJARAH KERAJAAN MAJAPAHIT
KONTRAVERSI SEJARAH KERAJAAN MAJAPAHIT
Peristiwa Sejarah Jayanegara ( Sariburaja Di Tanobatak ) Ayah Raden Wijaya/Prabu Buana ( Raja Babiat Di Tano Batak) Dengan Isterinya Gayatri Rajapatni( Bidinglaut Di Tano Batak ) Digantikan Anaknya Gajah Mada ( Sanghyang Naga Di Tano Batak )
Jawatengah,( kbn lipanri )
Raja Majapahit kedua, Jayanegara mati dibunuh oleh tabibnya
sendiri, Ra Tanca. Ada dugaan, Gajah Mada di balik pembunuhan tersebut.
Kbnlipanri - Satu hari di tahun 1328, seisi Istana Majapahit
sontak geger. Raja Jayanegara tewas bersimbah darah di peraduannya. Penguasa
Majapahit kedua ini mati di tangan tabibnya sendiri, Ra Tanca. Jayanegara, yang
meminta Ra Tanca mengobati sakit bisulnya, ditikam dari belakang dan tewas
seketika. Selain sebagai tabib istana, Ra Tanca juga seorang pengawal raja atau
bhayangkara, sama seperti Gajah Mada.
Meskipun tudingan pelaku pembunuhan mengarah kepada Ra
Tanca, tapi insiden berdarah ini belum terkuak sepenuhnya. Ada beberapa versi
terkait siapa sebenarnya dalang yang menghendaki kematian Jayanegara. Selain Ra
Tanca, Gajah Mada masuk dalam daftar tersangka.
Raja yang Tidak Disukai
Jayanegara ( Sariburaja Di Tano Batak ) naik takhta pada
1309. Ia adalah ayah dari pendiri
Majapahit, Raden Wijaya( Rajababiat ), dengan seorang putri Kerajaan
Dharmasraya ( Guruteteabulan Di Tano Batak )dari Sumatera, Dara Petak( Batak )
atau Indreswari( Borupareme Di Tano Batak ).
Kitab Pararaton menyebut Jayanegara dengan nama Kalagemet
yang ditafsirkan sebagai olok-olok karena nama tersebut memiliki arti “lemah”
atau “jahat”.
Memang, banyak orang di Majapahit yang tidak senang dengan
naiknya Jayanegara menjadi raja. Salah satu penyebabnya adalah karena
Jayanegara berdarah campuran, Jawa dan Melayu, bukan turunan murni dari
Kertanagara, raja terakhir Singhasari sebelum Majapahit berdiri.
Selain itu, Jayanegara juga bukan lahir dari permaisuri,
melainkan dari istri selir, sebelum menikahi Dara Petak( Darah Batak/
Borupareme ).
Raden Wijaya ( Pabu Buana/Rajababiat )sudah punya empat
istri yang semuanya adalah putri Kertanagara( Togalaut Di Tano Batak ), seperti
ditulis Pitono Hardjowardojo, dkk., Pararaton (1965:46). Namun, Dara Petak ( Batak/Borupareme
) berhasil membujuk Raden Wijaya( Raja Babiat ) untuk menjadikan putranya,
Jayanegara( Sariburaja ), sebagai putra mahkota.
Merujuk Nagarakertagama, Haris Daryono Ali Haji (2012:42)
dalam buku Menggali Pemerintahan Negeri Doho menyebut, kebiasaan raja-raja di
Jawa zaman dulu bahwa yang berhak menggantikan takhta kerajaan adalah anak yang
lahir dari permaisuri, entah itu anak laki-laki maupun anak perempuan.
Setelah Jayanegara dinobatkan, banyak terjadi guncangan
internal, termasuk timbulnya serangkaian pemberontakan. Para pemimpin
pemberontakan ini justru orang-orang yang dulu sangat loyal terhadap Raden
Wijaya. Setelah Raden Wijaya wafat, mereka menganggap takhta Majapahit jatuh di
tangan orang yang salah.
Dari sekian banyak pemberontakan yang muncul pada era
Jayanegara, ada beberapa yang paling membahayakan, antara lain pemberontakan
yang dimotori oleh Ranggalawe pada 1309, Lembu Sora pada 1311, Nambi pada 1316,
hingga Kuti pada 1319.
Namun, Jayanegara selalu lolos dari maut dalam berbagai aksi
pemberontakan itu. Nyawanya melayang justru ketika situasi kerajaan sudah agak
tenang, di tangan orang dalam istana yang tidak lain adalah tabib sekaligus
pengawal kepercayaannya sendiri, Ra Tanca.
Gajah Mada ( Sanghyang Naga/Anak Raden Wijaya ) Sebagai
Dalang?
Banyak referensi yang menyebut Gajah Mada punya andil dalam
peristiwa matinya Jayanegara pada 1328, secara langsung atau tidak. Seorang
peneliti sejarah asal Belanda, N.J. Krom, dalam Hindoe-Javaansche Geschiedenis,
misalnya, meyakini bahwa Gajah Mada adalah otak pembunuhan itu.
Dikutip dari Parakitri Simbolon (2006) dalam Menjadi
Indonesia, Krom meyakini bahwa Gajah Mada menyimpan dendam terhadap Jayanegara
lantaran telah berbuat tidak senonoh terhadap istrinya. Gajah Mada memperalat
Ra Tanca yang juga tabib istana untuk membunuh sang raja.
Buku Nagarakertagama dan Tafsir Sejarahnya karya Slamet
Muljana (1979) mendukung versi ini, meskipun Muljana juga memaparkan versi
lainnya. Dituliskan, Gajah Mada pada hakikatnya tidak suka pada terhadap Jayanegara
dan menggunakan Ra Tanca sebagai alat untuk mengakhiri nyawa raja yang
bertabiat buruk itu.
Pararaton seperti dikutip Muljana juga mengungkapkan, Gajah
Mada sudah bersiap di kamar raja tanpa diketahui Ra Tanca. Sesaat setelah
Jayanegara ditikam, Gajah Mada mendadak muncul dan segera membunuh Ra Tanca.
Baca juga: Klarifikasi Soal Gaj Ahmada dan Klaim Kesultanan
Majapahit
Meskipun ada di tempat kejadian perkara, nama Gajah Mada
tetap bersih, bahkan ia disebut sebagai pahlawan. “Demikianlah rahasia itu
tertutup. Orang ramai hanya tahu Gajah Mada membalaskan kematian sang prabu dan
menusuk Tanca sampai mati,” tulis Muljana dalam bukunya.
Gajah Mada diduga memang tidak menyukai Jayanegara yang
memiliki tabiat buruk dan kurang piawai dalam mengelola pemerintahan. Gajah
Mada juga tidak terlalu cocok dengan Ra Tanca yang menjadi salah satu pesaing
dalam kariernya sesama pengawal raja.
Versi ini dilengkapi oleh Purwadi dalam Jejak Nasionalisme
Gajah Mada (2004:84) yang menulis, setelah Jayanegara terbunuh, Gajah Mada
segera menangkap Ra Tanca dan mengeksekusinya. Yang menjadi persoalan, eksekusi
itu dilakukan tanpa melalui pengadilan terlebih dulu. Tindakan inilah yang
lantas memunculkan asumsi bahwa Gajah Mada memang sengaja menggunakan Ra Tanca
untuk menghabisi nyawa sang raja.
Dalam buku yang sama, Slamet Muljana juga mengungkap versi
lain ihwal misteri matinya Jayanegara. Disebutkan bahwa pembunuhan itu memang
murni dilakukan oleh Ra Tanca dan telah direncanakan sebelumnya.
Ra Tanca kesal terhadap Jayanegara setelah menerima laporan
dari istrinya bahwa sang raja telah berbuat tidak sopan terhadap dua saudara
tirinya yang juga putri Raden Wijaya, yakni Dyah Gitarja atau Tribhuwana
Tunggadewi dan Dyah Wiyat atau Sri Rajadewi.
Mengetahui hal ini, Ra Tanca lantas melapor kepada Gajah
Mada, tapi sang patih tidak segera bertindak. Ra Tanca, yang merupakan abdi
setia mendiang Raden Wijaya, lantas mengambil tindakan sendiri saat mendapatkan
kesempatan mengobati Jayanegara.
Purwadi dalam Sejarah Raja-raja Jawa: Sejarah Kehidupan
Kraton dan Perkembangannya di Jawa (2007:97) menyebutkan bahwa Jayanegara
memang tidak memperbolehkan dua adik perempuan tirinya itu menikah dan selalu
menghalangi jika ada lelaki yang hendak meminang.
Setelah Jayanegara tewas, dua putri Majapahit itu akhirnya
menikah. Tribhuwana disunting oleh Pangeran Cakradhara atau Kertawardhana,
bangsawan muda keturunan Singhasari (Th. Pigeaud, Java in the 14th Century: A
Study in Cultural History (2001: 540). Sedangkan Sri Rajadewi kawin dengan
pangeran lainnya bernama Kudamerta.
Krom, seperti halnya Muljana, juga merilis versi lain ihwal
pembunuhan Jayanegara. Menurut versi ini, Ra Tanca sudah berencana membunuh
raja, bermula laporan istrinya yang mengaku telah dicabuli Jayanegara.
Kebetulan, Ra Tanca mendapat kesempatan membalas ketika dipanggil Jayanegara
yang memerlukan bantuannya.
Earl Drake dalam Gayatri Rajapatni: Perempuan Di Balik
Kejayaan Majapahit (2012:96-97) punya kesimpulan yang lebih mengejutkan. Ia
menyebut, pembunuhan Jayanegara merupakan konspirasi Gayatri bersama Gajah Mada
padahal, Gayatri adalah ibu Tribhuwana Tunggadewi dan Sri Rajadewi atau salah
satu istri Raden Wijaya, anak Jayanegara.
Menurut Drake, Gayatri dan Gajah Mada ingin menghabisi nyawa
Jayanegara karena kepemimpinan sang raja yang sewenang-wenang, serta niat
Jayanegara yang ingin menikahi Tribhuwana Tunggadewi dan Sri Rajadewi yang
tidak lain anaknya sendiri.
Terlepas dari semua versi itu, karier Gajah Mada memang kian
mantap setelah Jayanegara tiada. Tribhuwana Tunggadewi yang naik takhta
menggantikan kakak tirinya, mengangkat Gajah Mada sebagai mahapatih atau
panglima tertinggi Majapahit pada 1334, jabatan yang belum tentu didapatnya
jika Jayanegara atau Ra Tanca masih hidup.( limber sinaga )
Komentar
Posting Komentar